AKIDAH DAN KEKERASAN TEOLOGI
Berbicara mengenai akidah, tidak
terlepas dari adanya keimanan seseorang dalam keyakinan kepada siapa ia
menitipkan keimanan tersebut. sebagai imbasnya, Indonesia memiliki berbagai
latar belakang keimanan dalam beragama yang beraneka ragam, diantaranya: Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dll.
Dalam berbagai moment, kini telah
muncul sekelompok yang gencar mempopulerkan istilah “KAFIR” kepada saudara
sebangsa dan setanah air dengan latar keagamaan yang berbeda.
Lantas, Bagaimana kita
beristifadah (mengambil faedah) dari persoalan tersebut? terlebih dalam
Al-Qur’an tidak jarang disebutkan kalimat “KAFAR”, “YAKFUR”, “KUFRON”, “KAFIR”,
“KAFIRUN”, “KAFIRIN.
MUNAS Alim Ulama & KONBES
Nahdlatul Ulama dalam beberapa hari yang lalu telah memberikan sebuah
pencerahan terkait kata “KAFIR” terutama dalam penggunaan kata yang tepat sebagai
ganti dari kata tersebut. Terlebih kata “KAFIR” yang selalu berkonotasikan “Non
Muslim” sering digemakan dalam berbagai momentum bertaraf publik dan terbuka.
Bukan karena Fanatisme, Hal tersebut justru akan membuat sakit hati antar
sesama warga yang hidup berdampingan di bumi Nusantara dan bukanlah penyebutan
yang bijak.
Bahkan, dalam konteks bernegara,
Umat non Muslim Indonesia tidak layak dipanggil dengan sebutan kafir, sebagai
contoh: “hei kamu kafir”. Sebab, dalam berbagai literasi fikih muamalah, secara
keseluruhan, warga Indonesia yang kebetulan dalam posisi Non Muslim tidak masuk
pada konteks kafir muahad, kafir musta’man, kafir dzimmi, dan kafir harbi.
Jika ditarik dalam konsep
bernegara, mereka non muslim Indonesia tidak bisa disebut sebagai kafir. Bahkan
dalam kaitannya pada Indonesia, Kiyai Mahbub berpendapat:
“Kafir Muahad itu tidak bisa ditarik dalam konteks Indonesia ini karena tidak masuk kriteria. Mau dikatakan kafir dzimmi, siapa yang ngasih dzimmah? Mau dikatakan kafir harbi? Mereka tidaak masuk karena Indonesia itu didirikan oleh seluruh anak bangsa, bukan hanya muslim, tetapi juga non muslim” (dilansir dari: www.nu.or.id dalam penjelasan atas kontroversi tiada orang kafir di Indonesia).
Sebagai tambahan, Kiyai Mahbub menjelaskan
bahwa kata “KAFIR” terdiri atas dua konteks ketika ingin dimaknakan. Kedua
konteks tersebut menyentuh ranah aqidah dan muamalah.
Jika dikaitkan pada ranah Aqidah
atau keyakinan, memang benar mereka non muslim tetap kafir dengan segala
konsekuensinya. Namun, jika dikaitkan dalam konteks muamalah, mereka tidak
masuk pada kriteria kafir yang terbagi ke dalam 4 macam di atas.
Sehingga penyebutan label “KAFIR”
dengan segala bentukan katanya tidak bisa dipaksakan kepada non muslim
Indonesia secara Muamalah atau bernegara. Tibalah kata “muwathin” atau warga
negara adalah status yang sangat tepat dilabelkan kepada Non Muslim Indonesia,
sebab mereka memiliki hak dan kewajiban sebagaimana warga negara yang lain.
Dan jika persoalan status non
muslim Indonesia sudah menjadi satu kesepakatan, akan sangat layak jika
penyebutan kafir akan menjadi persoalan Internal dalam tubuh Umat islam tanpa
adanya publikasi label tersebut di segala momentum publik. Sebab penyebutan
“KAFIR” kepada mereka merupakan sebuah sikap deskriminatif yang bersemayam
dalam kekerasan urusan teologi. Cukup dalam masalah aqidah mereka tetap
“KAFIR”, namun dalam masalah muamalah atau berbangsa dan bernegara mereka tetap
warga yang berstatus “Muwathin” (warga negara).
0 Komentar