Kritik
Merumuskan
Landasan Epistemologi Pengintegrasian Ayat-Ayat Qur’aniyah Dan Kawniyyah
Prof. Dr.
Nanat Fatah Natsir, MS.
A.
PENDAHULUAN
Universitas Islam Negeri Sunan Gunug Djati merupakan salah satu
Instansi pendidikan yang berada di Bandung, yang pada saat ini telah
bertransisi dari IAIN menjadi UIN. Tentu, adanya transisi tersebut tidak lepas
dengan adanya rancangan pengintegrasian antara ilmu-ilmu yang bertajuk duniawi
seperti: matematika, fisika, biologi, dan lain-lain dengan ilmu yang bertajuk ukhrawi
seperti: fiqih, hadist, bahasa arab dan lain-lain. Pada prakteknya, Prof. Dr.
Nanat Fatah Nasir dalam merumuskan landasan epistemologi mengintegrasikan kedua
ilmu tersebut dengan mengacu pada metafora roda yang terdiri dari: as/poros,
velg, dan ban karet dengan gaya keduanya yang dikenal dengan Sentrifugal
(gaya dari dalam menuju keluar) dan Sentripetal (gaya dari luar ke
dalam). Dari metafora roda inilah yang kemudian dikatakan menginterpretasikan
atau mengasumsikan hubungan kinerja metafora roda dalam pengintegrasian antara
ayat-ayat qur’aniyah dan ayat-ayat kauniyah.
Dalam pernyataan fokusnya, as/poros diasumsikan sebagai
titik sentral kekuatan akal budi manusia yang bersumber dari nilai-nilai
ilahiyah. Allah sebagai sumber dari segala sumber yang kemudian ibarat gaya sentrifugal
merupakan semangat yang diisi nilai-nilai ilahiyah. Di samping itu, poros juga
merupakan titik inti pencapaian akhir ibarat gaya sentripetal yang dihasilkan
dari luar menuju ke dalam. Hingga selanjutnya poros merupakan titik awal dan
titik akhir dari upaya inetgrasi keilmuan di UIN Bandung. Kemudian velg diasumsikan
sebagai jari-jari, lingkaran luar dan dalam melambangkan rumpun ilmu yang
berkembang dan bermacam-macam serta dapat menopang seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Dan selanjutnya ban karet yang diasumsikan sebagai realitas
kehidupan yang tidak terpisahkan dari semangat nilai-nilai ilahiyah yang dalam
hal ini di dasari pada iman, ilmu, dan amal shaleh. Berangkat dari hal inilah
UIN SGD Bandung berencana mencetak mahasiswa yang muta’alih (pengalam
sufi dengan kemampuan filosofis. Sehingga mahasiswa mampu menangkap objek
dengan melalui indera akal dan hati.
B.
IDENTITAS TULISAN
Judul Tulisan : Merumuskan Landasan Epistemologi
Pengintegrasian Ayat-Ayat
Qur’aniyyah dan Kawniyyah.
Penulis :
Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir. MS
Buku :
Pengembangan Pendidikan Tinggi Dalam Perspektif Wahyu Memandu
Ilmu
Editor :
Nanat Fatah Natsir
Penerbit : Gunung Jati Pers
C.
ISI KESELURUHAN TULISAN
Secara menyeluruh isi tulisan berkenaan dengan pengintegrasian
ayat-ayat Qur’aniyyah dan Kawniyah dengan menggunakan metafora roda yang
memiliki gaya sentrifugal dan sentripetal sebagai analoginya, yang dalam hal
ini dijelaskan sebagai berikut:
1.
Poros roda
melambangkan titik sentral kekuatan akal budi manusia yang bersumber dari
nilai-nilai ilahiyah, yaitu Allah sebagai sumber dari segala sumber. Dengan
kata lain tauhid sebagai pondasi pengembangan seluruh ilmu. Proses integrasi
keilmuan UIN SGD Bandung mengedepankan corak nalar rasional dalam menggali
khazanah ilmu pengetahuan islam yang bersumber langsung dari wahyu untuk
menciptakan hasil kreasi ilmu islami yang kontemporer, dan corak berfikir
kritis dan selektif terhadap ilmu pengetahuan kontemporer yang berkembang untuk
menemukan benang emas ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-nilai yang
islami.
2.
Velg roda yang
terdiri dari sejumlah jari-jari, lingkaran bagian dalam dan lingkaran luar
melambangkan rumpun ilmu dengan beragam jenis disiplin yang berkembang saat
ini. Metafora Velg ini mencerminkan sikap optimisme bahwa integrasi
keilmuan UIN SGD Bandung sangat relevan dengan hakikat keterkaitan dan
keterikatan ilmu. Ilmu pengetahuan yang satu dengan yang lainnya bekerja sama
secara simultan dan holistik guna menopang tantangan perkembangan zaman.
3.
Ban luar yang
terbuat dari karet melambangkan realitas kehidupan yang tidak terpisahkan dari
semangat nilai-nilai ilahiyah dan gairah kajian ilmu. Pada sisi luar ban ini
dilambangkan tiga istilah, yaitu iman, ilmu dan amal shaleh sebagai cita-cita
luhur yang menjadi target akhir dari profil lulusan UIN Bandung
Kemudian, demi mengitegrasikan Ayat-ayat Qur’aniyah dan Kawniyah,
diterapkanlah tiga konsep: Ontologis, Klasifikasi Ilmu, dan Metolodogis.
1.
Integrasi Ontologis
Kepercayaan pada status ontologis, atau
keberadaan objek-objek ilmu pengetahuan akan menjadi basis ontologis dari
epistemologis yang akan dibangunnya. Misalnya ketidakpercayaan ilmuwan barat
(Darwin, Freud, Durkheim, Marx, Laplace) terhadap keberadaan metafisik,
menyebabkan mereka membatasi subject matter ilmu (sains) hanya pada
bidang pisik-empiris atau dunia positif (Roslton: 248). Berbeda halnya dengan
ilmuwan dan filosof muslim, yang percaya bahwa yang ada, yang riil, bukanlah
hanya benda-benda fisik, melainkan juga entitas-entitas metafisik (immateriil).
2.
Integrasi Klasifikasi Ilmu
Integrasi klasifikasi ilmu berkaitan juga dengan integrasi
ontologisnya. Ibn Sina dan al Farabi sepakat untuk membagi yang ada (maujuudat)
ke dalam tiga kategori
a.
Wujud yang secara niscaya tidak
tercampur dengan gerak dan materi
b.
Wujud yang dapat bercampur dengan
materi dan gerak, tetapi dapat juga memiliki wujud yang terpisah dari keduanya
c.
Wujud yang secara niscaya bercampur
dengan gerak materi.
3.
Integrasi Metodologis
Integrasi ilmu agama dan ilmu umum (sekuler) dalam level
metodologis yang tentunya dalam aplikasinya berhubungan dengan integrasi
ontologis dan klasifikasi ilmu. Metode ilmiah yang dikehendaki ilmuwan barat,
berbeda secara signifikan dengan metode ilmiah yang dikembangkan para ilmuwan
muslim. Ilmuwan barat hanya menggunakan metode ilmiahnya dengan observasi yang
bisa dijangkau oleh indera manusia. Sedangkan para ilmuwan muslim menggunakan
tiga metode, yaitu:
a.
Metode observasi atau eksperimen (tajriibi)
Metode ini seperti halnya yang digunakan di barat. Untuk
objek-objek yang bersifat fisik ilmuwan muslim menggunakan metode observasi
(W.866). Metode observasi digunakan dilaboratorium kimia dan fisika.
b.
Metodologi demonstratif atau logis
(burhaani)
Metode rasional atau logis yang digunakan untuk menguji kebenaran
dan kekeliruan dari seluruh pernyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis
dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan
ilmiah dengan memperhatikan validitas premis mayor dan minornya yang keduanya
mempunyai unsur yang sama yang disebut midle term (al-hadd al-ausath)
c.
Metode intuitif (irfaani)
Ciri khas metode intuitif menurut Kartanegara (2005) adalah
sifatnya langsung yang tidak melalui perantara sehingga sering disebut mukaasyafah
(penyingkapan) langsung oleh Tuhan ke dalam hati manusia tentang
rahasia-rahasia dari realitas-realitas yang ada.
D.
KRITIK KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
TULISAN
A)
Kelebihan Tulisan
1.
Metode mengetahui objek-objek ilmu
Metode yang
dibangun oleh Nanat sangat layak mendapatkan apresiasi. Karena cara berpikir
yang disajikan tidak hanya bertumpu pada Akal (Rasional) saja akan tetapi
melibatkan hati dalam menangkap objek-objek ilmu
2.
Alur tulisan
Alur tulisan
yang disajikan bersifat sistematis (berurutan), sehingga memudahkan pembaca
dalam memahami sebuah alur tulisan
3.
Implementasi
Nanat sangat berharap generasi lulusan UIN
kedepannya bisa menjadi pribadi yang memiliki pengalaman mistik yang mendalam
seperti para sufi, dan mempunyai kemampuan bahasa filosofis yang optimal
seperti yang dimiliki para filosof.
B)
KEKURANGAN TULISAN
1.
Dalam menghadirkan paradigma
metafora roda, belum ditemukan titik terang antara beberapa kaitan yang satu
dengan yang lain dari sebuah gaya sentrifugal dan sentripetal.
Alasannya:
a.
Tidak adanya keterangan mengenai
hubungan sentrifugal dan sentripetal yang ada dalam kinerja roda berputar.
Dimana titik paling dalam adalah Allah sebagai sumber ilmu, kemudian disisi
lebih luarnya lagi terdapat ayat-ayat Qur’aniyyah dan Kawniyyah, dilanjutkan
lapisan luar yang berupa beberapa tatanan perkembangan ilmu dimasa sekarang.
Dan paling luar adalah ban yang dianalogikan sebagai Iman, Ilmu, serta Amal
Shaleh. Padahal dalam menghadirkan metafora roda, Prof. Nanat Fatah Natsir, MS
menyebutnya dalam kata Wahyu Memandu Ilmu dengan dalil Naqli yang memandu Dalil
Aqli. Dan dalam hal Ini istilah Wahyu memandu Ilmu hanya ada pada gerak
Sentrifugal yang berporos dari as sebagai pusat putaran dengan geraknya
menjauhi pusat putaran. Sehingga jadilah istilah Wahyu (Allah) memandu
Ilmu-ilmu yang ada disekitar.
b.
Sebagai lanjutan dari point 1 juga
tidak adanya keterangan bagaimana konsep dasar dari kinerja roda, untuk
kemudian dijelaskan dalam variasi proses dan dikembangkan kedalam makna yang
lebih meluas. Sehingga tidak hanya sekedar memberikan gambaran kinerja roda
tanpa adanya unsur bagaimana konsep, proses, dan perluasan makna tersebut.
c.
Adanya gerakan sentrifugal dan
sentripetal dalam putaran roda, ibarat dikata output mahasiswa yang akan
didapat hanya sebatas hubungan diri mereka sendiri dan Tuhan melalui
keilmuannya. Dan tidak pada sesama mahluk. Serta ajeg tanpa adanya pembaharuan.
Hal itu akan sangat berbeda ketika kita
melakukan perbandingan dengan konsep pohon ilmu yang disuguhkan Prof. Dr. Imam
Suprayogo. Dimana dalam faktanya, pohon akan selalu berkembang dan berbuah. Dan
jatuhnya buah ke tanah dan akan menumbuhkan tunas baru itulah yang dapat
disebut sebagai pembaharuan secara terus-menerus. Bukannya telah diketahui
dalam kaidahnya: al muhaafadotu ala al qodiimi shoolih, wa al akhdu bi al
jadidi ashlah. Seharusnya akan lebih baik jika kita memberinya pembaharuan
dengan menambahkan kaidah: wa at tajdidu fihi sholiih. Memang, tidak
dapat dipungkiri, bahwa perputaran roda sangat erat kaitannya dengan perjalanan lika-liku kehidupan, Namun hal itu bukan berarti perputaran roda
sangat sesuai dengan transformasi pengintegrasian ilmu-ilmu umum dan agama
dalam analoginya. Sebab sebagaimana yang telah diuraikan di awal, bahwa gaya
yang ada dalam roda adalah sentrifugal dan sentripetal. Hal itu hanya akan
memposisikan output yang ada hanya memiliki sifat yang searah (pandangan
sempit) dan tidak berbagai arah (pandangan luas).
2.
Disebutkan bahwa perputaran roda
mencerminkan identitas keilmuan UIN Bandung yang dinamik pada derajat kedalaman
tertentu merupakan hasil pengujian dengan kebenaran hakikinya yang lebih
komprehensif dan menyentuh hati. Dapat dikatakan kebenaran pernyataan tersebut
belum bisa diterima secara terbuka.
Alasannya, Karena Dalam
memberikan sebuah pernyataan, perlu kiranya dilakukan justifikasi agar
pernyataan tersebut dapat diterima secara legal. Adapun justifikasi tersebut
dapat berupa penelitian secara real ataupun menelaah langsung atau observasi
terhadap obyek yang sedang dikaji dalam pernyataannya. Nah dalam pernyataan
tersebut, kiranya belum ada satupun data yang dapat dipakai untuk membenarkan
pernyataannya. Baik itu data dari penelitian real ataukah telaah observasi
dengan melihat para mahasiswa lulusan UIN Bandung yang telah mengenyam dan
merasakan pembelajaran serta pengintegrasian ilmu dikampus tempat dimana mereka
memperoleh pengetahuan.
3.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
menyuguhkan teori pengintegrasian ilmu umum dan agama, Prof. Dr. Nanat Natsir
MS. Sangat lihai dengan menghadirkan integrasi onotologis, klasifikasi ilmu dan
metodologis. Kendati demikian, beberapa keterangan yang dihadirkan dalam
tulisannya belum memberikan kepuasan tersendiri sebab hanya lebih menekankan
sisi filosofis, tanpa mengimbangi sisi strukturalis dalam metafora rodanya.
Alasannya:
a.
Tidak adanya formula atau gambaran
lanjut bagaimana proses yang kemudian harus dilakukan atau di-eksperiment-kan
dalam menggabungkan ketiga unsur integrasi ontologis, integrasi klasifikasi
ilmu, dan integrasi metodologis yang dibutuhkan sebagai wujud integrasi
epistemologi Ilmu Qur’aniyyah dan Kawniyyah. Dimana yang dihadrikan dalam
tulisannya hanya sebatas teoritik holostiknya saja dan bukan pada penjelasan lebih mendalam
tentang paraktisinya. Padahal dalam rangka melaksanakan pengintegrasian ketiga
unsur tersebut sangatlah perlu untuk membuat kerangka pelaksanaanya, metode
penggabungan ketiga unsur tersebut atau rangkaian hubungan yang akan saling
mengkaitkan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya. Dengan adanya formula
dari teoritik yang dihadirkan akan memberikan titik terang demi terintegrasinya
Ilmu Qur’aniyyah dan Kawniyyah. Sehingga dalam rangka melaksanakan
pengintegrasian epistemologi ayat-ayat Qur’aniyyah dan Kawniyyah, alangkah
baiknya agar dalam membangun metafora roda tidak hanya berdasarkan pada sisi
filososifnya saja sebagaimana yang telah dijelaskan secara detail kaitan dari
gaya simultan roda tersebut, melainkan juga agar lebih melirik pada sisi
strukturalis.
b.
Di samping tidak adanya formula
atau gambaran lanjut tentang epsitemologi Ilmu Qur’aniyyah dan Kawniyyah
melalui tiga unsur tersebut, Prof. Dr. Nanat Fatah Natsir. MS juga tidak
menjelaskan lebih lanjut klasifikasi Ilmu yang dihadirkan Ibnu Khaldun dan al
Farabi. Sehingga seseorang akan menganggap bahwa klasifikasi Ilmu-ilmu tersebut
bukanlah pengintegrasian Ilmu-ilmu melainkan sebagai dikotomi ilmu.
c.
Tidak dijelaskannya keterangan
darimana iman, ilmu dan amal sholeh didapat. Bagaimana proses yang dilalui dan
dikembangkan dari hubungan sentrifugal dan sentripetal yang ada dalam kinerja
roda dengan gambaran wahyu memandu ilmu sehingga tiba tiba memunculkan output
yang memiliki iman dan ilmu untuk kemudian beramal sholeh.
4.
Dalam memberikan pernyataan,
alangkah baiknya jika dalam berilmu dan berakhlak al karimah, sebuah instansi
UIN Bandung tidak hanya sekedar menekankan perlunya mencetak mahasiswa yang
berakhlak sesuai dengan ilmunya, melainkan lebih memperhatikan kepada apa penyebab
akhlak dan ilmu itu tidak sesuai.
Alasanya: jika
dikatakan ingin mencetak mahasiswa yang berakhlak sesuai ilmunya, seharusnya
orang yang paling santun adalah mereka yang berilmu tinggi. Akan tetapi
kenyataannya bisa saja terbalik. apa sebenarnya hakikat ilmu, dan apa
sebenarnya hakikat al-Akhlak al-Karimah?. Dari kedua unsur tersebut manakah
yang harus didahulukan? Karena mengapa? Banyak orang-orang yang memiliki ilmu
tinggi, namun tidak berakhlak al-karimah. Juga banyak yang berakhlak al-karimah
namun ilmu yang dimiliki sedikit. Lantas bagaimana kita memaknai secara real
hakikat dari suatu ilmu dan akhlak itu. Logikanya seperti ini, ketika seseorang
memiliki pengetahuan bahwa korupsi adalah haram. Namun seseorang tersebut tidak
melakukan apa yang diketahuinya lantas ia korupsi. Begitupun sama ketika ada
seseorang yang memiliki hakikat al-Akhlak al-Karimah yang sangat bagus kemudian
melakukan sesuatu tanpa ia mengerti hakikat sesuatu itu karena ia tidak
memiliki pengetahuan walaupun pada dasarnya ia memiliki akhlak. Hal itu tidak
ada bedanya. Sebab masing-masing memiliki aib atau kekurangan dalam pengertian.
Sehingga tidak bisa secara berpihak dikatakan berilmu kemudian memiliki akhlak.
Sebab banyak juga orang yang berilmu namun akhlak sangatlah minim. Begitupun
juga tidak dapat dikatakan secara sepihak bahwa berakhlak al-karimah kemudian
memiliki ilmu. Sebab banyak juga orang yang memiliki akhlak namun ilmu sedikit,
sehingga adab yang ia miliki hanya sebatas kebiasaan tanpa adanya ilmu. Sebagai
contoh: beberapa tahun yang lalu, mahasiwa UIN Bandung membuat pernyataan yang
sempat menghebohkan dunia islam indonesia. Sebab dalam pernyataan mahasiswa
tersebut ketika berada disuatu forum mengatakan kalimat kontroversi: “Anjinghu
Akbar”. Dan terlepas dari makna atau esensi kalimat tersebut, apakah
mahasiswa tersebut tidak memiliki ilmu? Jelas sangatlah meyakinkan bahwa
mahasiswa yang mengatakan kalimat “Anjinghu Akbar” memiliki ilmu. Sebab
tanpa ilmu tidak mungkin mahasiswa tersebut mengatakan kalimat tersebut. Karna
ia tahu bahwa ada makna tersendiri dari kalimat yang ia ucapkan. Dan itu
menandakan bahwa ia memiliki ilmu. Bahkan bisa dikatakan berakhlak
al-karimahnya sesuai Ilmu yang dimiliki. Namun apakah pantas, tatkala kata
tersebut dikatakan di depan khalayak umum yang tidak mengetahui maksud apa yang
terkandung di dalamnya. Oleh karena itulah tidak cukup untuk UIN Bandung
membuat indikator berilmu dan kemudian membimbing mahasiswa untuk memiliki
al-akhlak al-karimah. Karena ilmu dan akhlak adalah bagaikan dua rantai
yang saling mengunci satu sama lain. Dan hanya akan dapat dipisahkan oleh
beberapa sebab tertentu. Oleh karena itu, sebab terpisahnya ilmu dan akhlak
inilah yang menjadi sebuah pekerjaan rumah yang berat dan besar bagi UIN Bandung teruntuk lulusan
mahasiswanya. Bahkan bukan hanya UIN Bandung, namun semua UIN yang ada di bumi
nusantara.
5.
Implementataif Lapangan
Memang tidak
bisa dipungkiri lagi bahwa peta konsep pemikiran yang telah digagas oleh Nanat
sangat brilian dan cemerlang. Namun seberapa indah konsep yang ditawarkan, akan
tetapi pengamat masih menemui titik kelemahan diantaranya adalah seharusnya
konsep pemikiran Nanat ditujukan kepada lembaga pendidikan tingkat dasar
terlebih dahulu atau bisa dikatakan seharusnya konsep tersebut dimulai dari
tingkat dasar. Dengan dimulai sejak dini diharapkan peserta didik akan mempunyai
pondasi berpikir dan kematangan berpikir sejak dini pula. Jika konsep ini
ditawarkan kepada peserta didik yang
sudah memasuki dunia perguruan tinggi, maka pengamat rasa, konsep ini telah
mengalami keterlambatan dalam pengimplementasian.
Dengan adanya
ketimpangan tersebut. Maka tugas memajukan pendidikan bangsa adalah tugas kita
bersama, khususnya para pembaca budiman atau generasi muda pada zaman sekarang
untuk melanjutkan strategi dan langkah nyata agar konsep ini bisa
terimplementasikan dengan baik. Tentunya, harus ada kerjasama yang baik antara
pemerintah, menteri pendidikan, menteri keagamaan dan para pecinta ilmu
pengetahuan agar konsep yang ada tidak hanya menjadi konsep mati yang takkan
pernah hidup sampai akhir zaman.
6.
Konsep Nanat masih belum
menjelaskan cara memadukan konsep yang ada dengan realita yang terjadi pada
zaman ini. Karena sebagaimana telah kita ketahui, pada zaman sekarang sulit
ditemukan pribadi yang mempunyai landasan berpikir dengan memadukan akal dan
hati. Kiranya harus ada strategi dan langkah nyata untuk mewujudkan konsep yang
sangat indah tersebut.
7.
Konsep yang dipaparkan belum
menjelaskan strategi dan langkah nyata dalam menciptakan generasi yang
mempunyai kemampuan mistik yang mendalam seperti para sufi, dan mempunyai kemampuan
bahasa filosofis yang optimal seperti yang dimiliki para filosof.
0 Komentar