Advertisement

Responsive Advertisement

SELAMATKAH, PAMAN NABI?: MENILIK KEMBALI BILIK KEHIDUPAN ABI THALIB

SELAMATKAH, PAMAN NABI?: MENILIK KEMBALI BILIK KEHIDUPAN ABI THALIB 
(sebuah analisis historis kontra sababun nuzul)
Restu Budiansyah Rizki

Siapa yang tidak mengenal salah satu tokoh ternama dalam serial perjuangan tersebarnya Islam di bumi Allah ini. Salah satu tokoh yang selalu setia mendukung dan menyokong kekuatan lahir batin demi sang Rosulullah berdakwah menyebarkan agama Islam dengan nuansa masyarakat berhati baja, keras, dan penuh pengorbanan. Dialah Abi Thalib sang tameng baju dakwah Rosulullah SAW. 

Abi Tahlib merupakan salah satu Paman sekaligus (Sahabat) Rosulullah yang senantiasa menjadi penyemangat dalam menyebarkan benih ajaran Ilahi. salah satu paman yang tidak diam jika sang keponakan terdzolimi oleh sang jahil fi jahiliyah. 

Kendati demikian, Abi Thalib yang secara dhohir selalu menjadi tameng, penyokong, serta pendukung Rosulullah dalam berdakwah menyebarkan ajaran Islam di tanah jahiliyah kala itu, tidak terlepas dari adanya potensi yang kaya akan pelbagai masalah kontroversial yang menyelimutinya. Sifat kontroversi yang melekat dalam diri Abi Thalib tersebut berangkat dari  adanya pandangan  dua sayap kaca mata masyarakat dalam memandang Keimanan Abi Thalib terhadap agama yang dibawa sang keponakan, yaitu Rosulullah SAW.

Bagi mereka sayap kanan, lebih mempercayai bahwa Abi Thalib sudah mengimani adanya Agama yang dibawa oleh sang keponakan. hal tersebut terlepas dari masalah apakah Abi Thalib menyembunyikan keimanannya ataukah tidak. yang ia selamat dari api neraka. (seperti itulah).

Namun,

Bagi mereka sayap kiri, lebih mempercayai bahwa Abi Thalib sama sekali tidak mengimani adanya Agama yang dibawa oleh sang keponakan. pendapat tersebut bukanlah tanpa sebab, Melainkan berangkat dari adanya petunjuk-petunjuk dari nash mantuq berupa hadits riwayat Imam Bukhori dan Muslim. 

Berangkat dari kedua pandangan dan atau pendapat inilah yang kemudian memunculkan persepsi bahwa Abi Thalib beriman (selamat dari api neraka), dan di sisi lain juga memunculkan persepsi bahwa  Abi Thalib tidak beriman (disiksa di dalam neraka).

Artikel ini hadir sebagai pendapat semata. di mana, Tidak menutup kemungkinan juga terdapat pendapat yang lain. dan itu sah-sah saja. tinggal bagaimana kita menyikapinya. akankah tetap mesra dalam perbedaan, ataukah sebaliknya..

Sejauh literature yang penulis baca dalam berbagai sumber. keterangan yang paling sering muncul adalah bahwa Abu Thalib tidak beriman. Apalagi dalil yang paling sering dimunculkan pun bertajuk pada hadits riwayat bukhori muslim. Ditambah, Dalil tersebut juga konon melatarbelakangi adanya jawaban dari sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada sang Ibunda Rosulullah SAW, Sayyidah Siti Aminah.

Lantas, Pandangan manakah yang lebih menarik untuk diambil sebuah kesimpulan? berimankah Abi Thalib? atau justru sebaliknya?

Dalam menjawab hal tersebut, baru-baru ini penulis juga mendapatkan sebuah sumber dari kitab pdf yang kebetulan dikirim oleh Guru Spiritualnya. kitab tersebut adalah: أسنى المطالب فى نجاة أبي طالب. karya Syaikh Zainy Dahlan.

Kitab tersebut mencoba memframe-kan kembali penafsiran sekaligus analisis dalil yang dijadikan rujukan untuk menyimpulkan bahwa Abi Thalib tidak beriman sampai akhir hayatnya, yaitu dengan melihat sisi dari berbagai lini historisnya (sejarahnya). 

Yang lebih menarik, Syaikh Zainy Dahlan dalam kitabnya tersebut mencoba memberikan sebuah sentilan komentar terhadap keautentikan dan agreement  jika di lihat dari sisi historis sejarah yang ada pada saat itu. Berikut ini salah satu komentar yang disentilkan dalam kitab أسنى المطالب فى نجاة أبي طالب.

Secara Masyhur, dalil yang sering kita dengar untuk menyatakan bahwa Abi Thalib tidak membawa iman sampai dipenghujung akhir hayatnya adalah dalil riwayat Imam Bukhori Muslim. dikatakan:

روى البخاري (3884) و مسلم (24) عن ابن المسيب عن أبيه أن أبا طالب لما حضرته الوفاة دخل عليه النبي صلى الله عليه و سلم و عنده أبو طالب فقال
أي عم قل لا إله إلا الله كلمة أحاج لك بها عند الله. فقال أبو جهل و عبد الله بن أمية يا أبا طالب ترغب عن ملة عبد المطلب فلم يزالا يكلمانه حتى قال أخر شيء كلمهم به على ملة عبد المطلب. فقال النبي صلى الله عليه و سلم: لاستغفرن لك ما لم أنه عنه فنزلت (مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ ) و نزلت: (إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ)

Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan hadist dari Ibnu al-Musayyab, dari Ayahnya (al-Musayyab) bahwa ketika Ajal telah mendekati Abi Thalib, Rosulullah mendekati Abi Thalib yang di sampingnya ada Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah seraya berkata: Wahai Paman, ucapkanlah Laa Ilaaha Illa Allahu, kalimat yang akan menjadi penolongmu di sisi Allah. mendengar hal tersebut, lantas Abu Jahal berkata: Wahai Aba Thalib apakah kamu membenci agama Abdil Muthallib?. keduanya (Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah) selalu mengatakan hal tersebut sehingga kalimat terakhir yang diucapkan Abi Thalib adalah bahwa Abi Thalib tetap pada agama Abdul Muthallib. mendengar itupun Rosulullah SAW berkata: "jika tidak dilarang, pastilah aku akan memintakan rahmat ampunan Allah untukmu wahai paman". Kemudian turunlah surat at-Taubah: 113

(مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ)

Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. (9: 113)
    
dan turun juga surat al-Qhososh: 56

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.( 28: 56)

 Kedua ayat di atas diyakini sebagai sababun nuzul atas peristiwa wafatnya Abi Thalib. bahkan dalam pandangan lain juga turun sebagai sababun nuzul wafatnya Sayyidah Aminah, Ibunda Rosulullah.

Dalam bilik hadist riwayat sohih bukhori dan muslim dari Ibnu al-Musayyab, Syaikh Zainy Dahlan memberikan sebuah komentar:

"Hadist yang di dalamnya menerangkan dua ayat yang turun karena perihal Abi Thalib dan Siti Aminah terssebut tidaklah dapat diterima (ditolak) bahkan tidak boleh ditakwil dengan cara apapun."

Adapun dari alasan tersebut, Zainy Dahlan memberikan sebuah alasan, diantaranya:
  1. Hadist tersebut memiliki sebuah kejanggalan. sebab bagaimanapun, Surat at-Taubah: 113 merupakan salah satu surat yang tergolong madaniyah (surat yang turun setelah Rosulullah Hijrah). Sedangkan Abi Thalib dalam historisnya wafat ketika berada di Makkah (Masa sebelum Hijrah). Hal tersebutlah yang menjadi persoalan atau kejanggalan dari wafatnya Abi Thalib yang digores tinta sejarah berada di Makkah, Namun ayat dari salah satu surat at-Taubah yang dijadikan dalil merupakan ayat surat Madaniyah. Pertanyaannya: Bagaimana bisa?.
  2. Di samping itu, ayat surat al-Qhososh: 56 yang diyakini turun kepada peristiwa wafatnya as-Sayyidah Siti Aminah jugalah tidak benar alias tidak diterima atau ditolak. sebab merupakan sebuah kejanggalan jika suratt al-Qoshosh tersebut turun menceritakan as-Sayyidah Siti Aminah. Padahal, Ibunda Rosulullah SAW tersebut wafat pada zaman fatroh (zaman kekosongan tidak adanya utusan Allah yang diutus di sebuah kaum). sehingga logika bahwa Siti Aminah ibunda Rosulullah adalah di Neraka rasa-rasanya kurang tepat. karena ketika zaman fitrah, manusia manapun yang hidup di zaman tersebut tidaklah akan di siksa oleh Allah.

Jika kedua ayat tersebut (surat at-Taubah : 113) bukan turun karena Abi Thalib, lantas siapakah orang yang diceritakan dalam ayat tersebut? itu yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan yang diajukan kemudian.

Dalam Musnad Ahmad (1/99 dan 103) , sebagaimana yang di-Iya-kan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya "الفتح" sebagai riwayat dari sayyidina Ali Ibni Abi Thalib yang mengatakan bahwa ia mendengar si fulan (seseorang) memintakan rahmat ampunan Allah teruntuk kedua orang tuanya yang kebetulan merupakan dari golongan orang-orang kafir (kufur). lantas Sayyidina Ali memberitahukan kepada Rosulullah SAW dan turunlah ayat:

(مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ)
 dengan sanad hadits tersebut adalah sohih.

Demikianlah sekelumit informasi terkait komentar Syaikh Zainy Dahlan dalam memandang Abi Thalib sebagai salah satu paman yang selamat dari azab.

Allahu A'lam.

Rujukan: Ahmad bin Zainy Dahlan, Asna al-Mathaalib fi Najaati Abi Thalib, Oman: Dar al-Imam an-Nawawi, 1428  H, Cet.  II, Hlm. 15.


Malang, 14 Januari 2019
Restu Budiansyah Rizki

Posting Komentar

0 Komentar