Advertisement

Responsive Advertisement

NUSANTARAISME ARAB

Dunia pesantren kini nampak rindu akan sosok penyebar islam di bumi nusantara. kehadirannya telah membawa banyak kejutan sekaligus sebagai kado terindah yang diberikan dan dihadihkan oleh astha-astha (red: tangan) kekasih Allah, terlebih bagi masyarakat yang hidup di era sekarang ini. hal itu nampak dari hakikat kedatangan islam di bumi nusantara dengan tidak sedikit membuat masyarakat tempo doeloe terbelalak kaget dengan kedatangan islam yang tak terduga. apalagi paham yang berkembang kala itu lebih mengarah kepada dinamisme alias unsur perbendaan tanpa mengenal Tuhan secara Ma'rifat dan Hakikat.
Pola kepercayaan masyarakat tempo doeloe telah membangkitkan hirroh dakwah wali songo dengan senantiasa melakukan pendekatan sosial, kultural, dan budaya tanpa merubah totalitas paham ketuhanan masyarakat kala itu. sebut saja sunan bonang yang mencuri perhatian masyarakat dinamisme dengan alat musik tradisional GONG yang seakan menyelinap masuk ke alam bawah sadar masyarakat untuk kemudian mengarahkan kaki mendekati sumber suara GONG yang terdengar.

Di samping bahasan GONG, peran walisongo dalam menyebarkan islam di tanah nusantara menjadi satu cikal bakal lahirnya istilah Pesantren. hingga tibalah saat ini, pesantren sebagai sebuah trend yang sudah mendarah daging dalam setiap denyut nadi masyarakat nusantara. tilik saja bilik-bilik setiap pelosok negeri, maka kau akan menemukan sebuah bangunan bertuliskan "Pesantren........".

Lantas, apakah peran walisongo hanya sebatas pada transfer nasihat keislaman? ataukah dunia pesantren telah sirna ditinggal mendiangnya? ternyata tidak!. peran walisongo dalam menyebarkan islam telah menurunkan buah hati sebagai tonggak penerus sang mother father. sebut saja mbah soleh darat, mbah kholil bangkalan, dan masih banyak penerus walisongo yang berada di bumi nusantara.

dari kreatifitas dan hirroh dakwah sang warosatul anbiya tersebut, kita banyak mengenal kitab-kitab bertuliskan arab. namun, apakah dengan ujug-ujug masyarakat mampu membaca tulisan arab tersebut? tentu butuh suatu perantara untuk dapat membacanya, apalagi kitab tersebut tidak memiliki tanda baca yang biasa disebut Harakat. 

tibalah disamping ulama mengajarkan Islam, dibawalah pula Ilmu Nahwu dan Shorof sebagai alat untuk membaca kitab tak berambut alias gundul. hingga dikenallah Ilmu Alat di dunia pesantren sebagai suatu konotasi dari makna Nahwu dan Shorof.

satu hal yang penulis lihat dari Ilmu Nahwu dan Shorof, bahwa ia sangat unik dan memukau:

"Keberadaannya bagaikan angin yang berhembus lembut. tidak dapat dilihat namun dapat dirasakan. keberadaanya pula bagaikan mahkluk halus yang acapkali ketika membaca kitab gundul tak berharokat, ia muncul dalam bentuk harokat di atas kertas di mana tulisan arab itu terukir"

memang sangat aneh, ketika seorang santri mempelajari ilmu tersebut. seakan membuka ta'bir sesuatu yang tak kasat mata. 

bahkan:

"keberadaannya bagaikan kata sandi yang memberikan kode kapan dibaca fathah, kapan dibaca dhomah, kapan dibaca kasroh,, dan bahkan sukun."

berangkat dari ilmu tersebut, kini masyarakat nusantara telah mampu dan bahkan dapat membaca manuskrip manuskrip bertuliskan arab. bahkan tanpa memiliki kamus spesial.

pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak penulis adalah:

bagaimana orang-orang pesantren mampu membaca kitab-kitab gundul tersebut, sekaligus dengan makna dalam bahasa jawa (salah satunya).

setelah ditelisik, rupanya mereka bisa karena kebiasaan, mereka bisa karena seringnya berkomunikasi dengan tulisan arab.

hal itulah yang membuat persepsi penulis memunculkan sebuah formula bahwa: seseorang akan lebih mampu melakukan sesuatu, jika sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan.

sekarang, Nusantara telah berwajahkan Islam dengan transformasinya dari itiqod dinamisme.


Posting Komentar

0 Komentar