BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis yang kita kenal dengan istilah sunah pada umumnya merupakan
sumber hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Keududukan hadis sebagai penafsir
ayat-ayat al-Qur’an telah mendapat perhatian para ulama – perhatian yang belum
sama sekali didapatkan oleh sumber hukum yang lain – dalam menentukan
periwayatan hadis dari para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan umat setelah
mereka sehingga tidak lagi terjatuh dalam lubang kesalahan ketika menggali
sebuah hukum hadis yang bertujuan untuk menjelaskan syariat Islam itu sendiri.
Hal itu dikarenakan kedudukan hadis juga merupakan argument atau dalil dari
pengetahuan seputar Islam dan pengajarannya. Adapun tujuan adanya penentuan
periwayatan hadis tersebut dalam rangka mengetahui diterimanya suatu hadis
ataupun justru ditolaknya hadis. Di samping itu juga, perhatian ulama bukan
sekedar stuck pada bagian periwayatan hadis itu sendiri melainkan juga
menilik pada matan dari hadis tersebut. Sebab, dapat dikatakan bahwa riwayat
hadis atau sanad hadis beserta matan hadis merupakan dua unsur yang sangat
penting dalam memandang kehujjahan suatu hadis.
Salah satu kalangan atau golongan yang sangat memperhatikan
seluk-beluk suatu hadist adalah kalangan Syi’ah dan Ahlussunnah wal jama’ah.
Dalam sejarahanya, kedua kelompok tersebut sudah banyak melakukan suatu
perseteruan, pertentangan dan juga pertukaran pendapat seputar hadis dan segala
sesuatu tentang hadis itu sendiri. Hal itu dilatarbelakangi oleh adanya teori
periwayatan hadis dikalangan Syi’ah sendiri berbeda dengan teori periwayatan
hadis dikalangan Ahlussunnah. Perbedaan inilah yang sejatinya membutuhkan waktu
panjang dalam rangka membahas seputar hadis sehingga dapat ditemukan titik
terang ataupun kesepakatan antara kedua kubu besar tersebut, terutama dalam
masalah hadis. Adapun pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah mungkin
antara Syi’ah dan Ahlussunnah dapat melakukan teken kesepakatan terkait
pandangan masalah hadis sehingga pertentangan dan perseteruan tidaklah
berlarut-larut panjang? Pertanyaan inilah yang sampai saat ini belum
mendapatkan jawaban dari kedua kalangan besar umat Islam.
Pertentangan dan perseteruan dalam hadis tersebut sejatinya telah
memberikan sebuah justifikasi yang mengatakan bahwa perbedaan aqidah dalam
tubuh Islam telah menyebabkan pengetahuan yang berbeda seputar hadis menurut Syi’ah
dan Ahlussunnah. Dalam hal ini contohnya Syi’ah bersandar pada hadis yang hanya
diriwayatkan oleh kalangan Syi’ah itu sendiri. Begitupun Ahlussunnah yang lebih
memegang kendali hadis dan bersandar pada hadis yang diriwayatkan pada
seseorang yang menurut kelompoknya dapat diambil. Sehingga pada hakikatnya
kedua kelangan besar umat Islam itu sendiri telah berpegang teguh pada
pandangan hadis secara tersendiri tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak.
Hal-hal yang paling parah terkait perbedaan pandangan seputar hadis
adalah telah banyak muncul hadis-hadis dari kedua belah pihak yang sejatinya
masing-masing hadis tersebut hanya menguatkan doktrinal kalangan sendiri saja
dibandingkan dengan kalangan yang lain. padahal hadis yang muncul dalam diri
mereka sejatinya pula bukan merupakan hadis murni dari Rosulullah Muhammad SAW.
Adapun pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan dari peristiwa ini adalah bahwa
hadis yang ada pada saat itu tidak dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya
disebabkan karena hadist yang muncul merupakan hadis palsu (mudallas) dari
kelompok tertentu demi menguatkan kepentingan kelompoknya sendiri dan bukan
bermaksud mencari kebenaran telak.
Jika dilihat dari pertentangan dan
perseteruan tersebut dalam tubuh Syi’ah dan Ahlussunnah, maka perbedaan
metodologi hadist dari kedua kubu besar Islam itu sendiri dapat dilihat dari beberapa
sisi, diantaranya: area pembahasan hadis secara definisi, sumber hadis dan
bentuk hadis, metode, kebenaran hadis dan juga tujuan pengetahuan.
Berangkat dari fenomena di atas, kiranya sangat layak untuk
pemakalah mengangkat tema seputar hadis menurut kelompok Syi’ah.
B. Rumusan Masalah
dari pemaparan
yang telah dibahas, muncullah suatu rumusan masalah sebagaimana berikut:
1.
Bagaimana Pandangan Syi’ah Terhadap
Hadis?
2.
Bagaimana Awal Penulisan Dan
Kodifikasi Hadis Menurut Kalangan Syi’ah?
3.
Apa Syarat Diterimanya Hadis
Menurut Kalangan Syi’ah?
4.
Bagaiman Literatur Hadis Menurut
Kalangan Syi’ah?
5.
Bagiamana Kehujjahan Hadis Menurut Syi’ah?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Syi’ah Dan
Pandangannya Terhadap Hadis
Kata
Syi‟ah terambil dari kata dalam bahasa Arab :sya’a – syiya’an
berarti
mengikuti atau menemani (Tabi’a atau Ra-faqa).
Menurut jawah maghniyah (seorang ulama beraliran Syi‟ah) memberikan
difinisi tentang kelompok Syi’ah, bahwa mereka adalah kelompok yang meyakini
bahwa Rosulullah Muhammad Saw telah menetapkan dengan Nash (pernyataan yang
pasti) tentang khalifah (pengganti) beliau dengan menunjuk Imam Ali.[1]
Syi’ah
merupakan salah satu kelompok muslim terbesar kedua dalam tubuh Islam. Dalam
sejarahnya kelompok tersebut lebih dikenal dengan kelompok pengikut Ali Bin
Abi Thalib. Hal tersebut mnegindikasikan bahwasanya kelompok Syi’ah
merupakan para pengikut Ali Bin Abi Thalib. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, istilah kelompok Syi’ah telah bergeser ke makna kelompok Syi’ah
yang mengikuti dan percaya pada ke 12 imam Syi’ah. Hak tersebut dikarenakan Syi’ah
dalam term ini merupakan kelompok Syi’ah yang terbanyak dan terbesar
dibandingkan kelompok Syi’ah yang lain. Dalam hal ini, kelompok Syi’ah
beranggapan bahwa Ali Bin Abi Thalib dan ke 12 imam dari keturunannya
merupakan sebuah amanat langit yang harus diikuti dan dijadikan rujukan dalam
tubuh umat Islam setelah sepeninggalnya Rosulullah Muhammad SAW.[2]
Dari
penjelasan seputar kalangan Syi’ah terdapat pendapat yang lebih masyhur bahwa
kelompok Syi’ah muncul setelah gagalnya peristiwa tahkim atau arbitrasi antara
kelompok Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah Bin Abi Sufyan dalam
pertempuran Shiffin. Adapun efek atau hasil dari adanya kegagalan peristiwa
tahkim tersebut, sebagian pendukung Ali Bin Abi Thalib yang merasa
kecewa atas kesepakatan yang didapatkan, menyatakan keluar atau memisahkan diri
dari kelompok Ali yang dikenal dengan kaum khawarij (kelompok yang hengkang
dari barisan Ali Bin Abi Thalib). Barisan tetaplah barisan, walaupun
sebagaian umat islam ada yang memisahkan diri dari Ali Bin Abi Thalib,
namun ada sebagian lain yang masih setia dan konsistent terhadap kepemimpinan
Ali dan serta mendukung pergerakan Ali yang dikenal dengan kaum Syi’ah. [3]
Berbicara mengenai hadis, dalam
tubuh Syi’ah mereka memiliki periwayatan khusus yang mebedakan dengan
periwayatan yang ada dalam kalangan Ahlussunnah, Syi’ah imamiyah dalam hal ini
tidak mau menerima riwayat hadis kecuali dari riwayat imam yang maksum. [4]
Hadis dalam hal ini sendiri menurut Syiah
merupakan Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al Ma’shum. Dan al Ma’shum dalam
pandangan Syi’ah tidak hanya terbatas di kalangan
para nabi dan rasul. Para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini yakni
imam dua belas, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan mereka
adalah sumber hukum kedua setelah Al-quran.[5]
Dalam kelompok Syi’ah, setidaknya
ada 12 Imam yang terkenal dengan kemaksumannya, diantaranya:
a.
Abu al-Hasan Ali ibn abi Thalib, 23
SH-40 H, kemudian putra dan keturunan beliau.
b.
Abu Muhammad al-Hasan ibn Ali (2-50
H)
c.
Abu Abdillah al-Husain ibn Ali
(3-61 H)
d.
Ali Zainal Abidin ibn Husain (38-95
H)
e.
Abu Ja’far Muhammad ibn Ali
al-Baqir (57 -114 H)
f.
Abu Abdullah Ja’far ibn Muhammad
al-Sadiq (83-148 H)
g.
Abu Ibrahim Musa ibn Ja’far
al-Kazim (128-183 H)
h.
Abu al-Hasan Ali ibn Musa al-Rida
(148-203 H)
i.
Abu Ja’far Muhammad ibn Ali
al-Jawad (195-220 H)
j.
Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad
al-Hadi (212-254 H)
k.
Abu Muhammad al-Hasan ibn Ali
al-Askari (232-260 H)
l.
Abu al-Qasim Muhammad ibn al-Hasan
al-Mahdi (255 H)[6]
2. Awal Penulisan
Dan Kodifikasi Hadist Menurut Syi’ah
Berbicara
mengenai awal penulisan dan kodifikasi hadist antara Syi’ah dan Ahlussunnah
tidak terlepas dari perbedaan. Walaupun di sisi lain kedua kelompok tersebut
memiliki persamaan dalam satu hal. Terkait perbedaan antara Syi’ah dan Ahlussunnah,
kalangan Syi’ah berpendapat bahwasanya hadis tidaklah hanya bersumber pada diri
Rosulullah Muhammad SAW yang berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan,
melainkan juga segala sesuatu yang bersumber dari Rosulullah Muhammad dan atau
segala sesuatu perkataan, perbuatan, dan ketetpan para Imam yang Maksum dari
keturunan Rosulullah yang salah satunya adalah Fatimah Binti Muhammad. Karena
mereka sendiri merupakan salah satu Khitab Ahlul Bait yang dikategorikan
suci karena wahyu.
Kalangan Syi’ah
meyakini bahwa penulisan hadis telah muncul dan berkembang di zaman Rosulullah
Muhammad SAW seperti halnya yang diyakini oleh Ahlussunnah. Adapun perbedaan
diantara kelompok tersebut bahwa Syi’ah lebih meyakini tentang apa yang telah
di tulis oleh Ali Bin Abi Thalib. Dalam hal ini, Syi’ah meyakini
bahwasannya Rosulullah mendiktekan suatu hadist kepada Ali Bin Abi Thalib,
kemudian Ali menulisnya di atas lembaran-lembaran yang selanjutnya disimpan di
dalam sarung pedang miliknya. Setelah sepeninggal Rosulullah Muhammad SAW, Ali
Bin Abi Thalib menyimpan lembaran tersebut dengan sangat baik. Hingga
kemudaian lembaran tersebut dikenal dengan nama “Sahifah Ali” alias
lembaran Ali. Di samping itu, ada beberapa lembaran lain yang memuat hukum
diyat dan hukum-hukum yang lain. Dimana Rosulullah Muhammad SAW juga
mendiktekan hadis-hadis kepada Ali Bin Abi Thalib yang kemudian
dikodifikasikan dalam bentuk yang lebih tebal dan terkenal dengan nama “Al-Jami’ah”. [7]
Terkait tradisi penulisan hadist
dalam sisi yang lain, kelompok Syi’ah beranggapan bahwa sejak awal mereka telah
memelihara hadis dengan tradisi tulisan yang merupakan anjuran dari Rosulullah
secara langsung untuk menulis hadis yang kemudian dianggap sebagai suatu
perintah penting dan kemudian dilanjutkan oleh para Imam. Hal itu tercermin
dari salah satu Hadis riwayat Ummu Salamah yang meriwayatkan berikut: “Rosulullah
meminta adim (kulit domba yang sudah disamak) untuk dibawa, dan pada saat itu
Ali bersama Rosulullah SAW, lalu beliau mendiktekan begitu banyak hadis
kepada Ali, sehingga kedua sisi kulit domba itu penuh dengan tulisan.”[8]
Selama
keghaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahlul Bait berusaha mengumpulkan lembaran
hadis yang pada waktu itu sempat tercecer. Mereka memulai pengumpulan lembaran
tersebut dengan periwayatan secara langsung dari seseorang ke orang yang lain
hingga sampailah pada Rosulullah Muhammad SAW dan atau sampai kepada salah satu
Imam 12 kelompok Syi’ah. Dalam hal ini, ulama Syi’ah yang bernama Abu Rafi’
al-Qibti al-Syi’i telah mengkodifikasikan hadis-hadis tersebut dalam
bukunya yang berjudul “al-Sunan wa al-Ahkam wa al-Qodoya”. [9]
Pada tahap selanjutnya, para ulama Syi’ah berusaha mengumpulkan
hadis-hadis tersebut dalam bentuk buku yang bermacam-macam dan dikenal dengan
istilah “al-Kutub al-Arba’ah” yang dijadikan pegangan oleh kelompok Syi’ah.
Kitab tersebut berupa: “al-Kafi, Man La Yahduruhu al-Faqih, Tahdhib
al-Ahkam, al-Istibshor fi Ma Ukhtulifa min al-Akhbar”. [10]keempat kitab
inilah yang kemudian menjadi rujukan atau pegangan kelompok Syi’ah dan semua
orang yang berada dan sama pada keyakinan Syi’ah itu sendiri.
3. Syarat
Penerimaan Hadis Menurut Pandangan Syi’ah
Perbedaan
konsep dasar tentang hadist anatar kelompok Syi’ah dan Ahlussunnah telah
menunjukan pengaruh tentang nilai sebuah hadis yang dapat dijadikan pedoman dan
prinsip dalam menggali sebuah hukum untuk kaum muslimin. Salah satu konsep yang
sangat penting dalam menggali sebuah hukum agama dalam hadis dengan cara
melihatnya dalam segi syarat penerimaan hadis itu sendiri. Dalam konsep syarat
penerimaan hadis, kelompok Syi’ah memiliki pemahaman atau konsep yang
membedakan dengan konsep kelompok yang lain. Berikut merupakan syarat
diterimanya hadist menurut pandangan Syi’ah:
a.
Ketersambungan
Sanad kepada Imam Yang Maksum
1)
Konsep dan Pengertian
Ketersambungan Sanad menurut Syi’ah
Secara umum, ulama Syi’ah imamiyah
meyakini dan mengakui adanya istilah ketersambungan sanad sebagaimana yang ada
dalam tubuh kelompok Ahlussunnah. Salah satu pandangan Syi’ah bahwasanya hadis
shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung.
Arti ketersambungan sanad menurut
pandangan Syi’ah berbeda dengan arti ketersambungan sanad menurut pandangan Ahlussunnah.
Perbedaan ini muncul jika dikaitkan dengan istilah muttasil musnad atau marfu’
dalam hal hadis. Hadis marfu’ menurut Syi’ah adalah hadis yang sanadnya
tidak hanya bersambung kepada Rosulullah Muhammad SAW saja, melainkan juga
bersambung kepada salah satu Imam dua belas Syi’ah yang maksum dari segala
perbuatan maksiat, walaupun sanad hadis tersebut tersambung (muttasil) ataupun
terputus (munqathi’).[11] Hal khusus
dan umum inilah yang membedakan antara Syi’ah dan Ahlussunnah terkait muttasil
musnad atau marfu’ dalam istilah hadis.
Di sisi lain, kelompok Syi’ah
berkeyakinan bahwa semua imam yang ada dalam kajian mereka merupakan seorang
periwayat hadis yang menyampaikan hadis-hadis Rosulullah. Sehingga segala
sesuatu yang bersumber dari para Imam tersebut
(baik perkataan, perbuatan atau ketetapan) dapat dikatakan sunnah.
Dan para imam juga telah mendapatkan wasiat Ilmu secara turun-temurun dari apa
yang telah ditulis oleh Ali Bin Abi Thalib sebagai hasil yang telah
didiktekan oleh Rosulullah Muhammad SAW. [12] Fenomena seperti ini telah terlihat dari
perkataan Imam Ja’far as-shodiq:
حديثي حديث
أبي و حديث أبي حديث جدي و حديث جدي حديث الحسين و حديث الحسين حديث الحسن و حديث
الحسن حديث أمير المؤمنين و حديث أمير المؤمنين حديث رسول الله و حديث رسول الله
قول الله عز و جل.
“Hadisku
adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah
hadis Husain, hadis Husain adalah hadis Hasan, hadis Hasan adalah hadis amirul
mukminin Ali, hadis Ali adalah hadis Rosulullah, dan hadis Rosulullah adalah Firman
Allah ‘Azza wa Jalla.” [13]
Jika di perhatikan lebih lanjut, Kelompok Syi’ah
memiliki beberapa argument dalam rangka menopang kedudukan para Imam dalam
menyampaikan Hadis, diantaranya: a) Syi’ah berkeyakinan bahwa Imam mendapat
otoritas dari Allah SWT melalui lisan Rosulullah SAW, b) Para Imam merupakan
periwayat yang menyampaikan sunnah Nabi, sehingga semua yang mereka katakan
merupakan kategori hadis. Yang diriwayatkan melalui anak, bapak, kakek, hingga
sampai Rosulullah.
2)
Konsep Dan Pengertian Imam Yang
Maksum Menurut Syi’ah
Kelompok Syi’ah dalam menyaratkan penerimaan
hadis tidak lepas dari istilah Imam maksum. Terutama dalam hal sanad hadis
tersebut.
Istilah Imam pada dasarnya bermakna orang yang
diikuti. Dan bahwa dalam Syi’ah, Imam merupakan keudukan atau pangkat ilahiyah
yang diberikan oleh Allah melalui Pengetahuan-Nya atas semua Makhluk. Kelompok Syi’ah
juga meyakini bahwa semua imam dalam Ahlul Bait adalah maksum dan mereka
memeiliki sifat Ismah sepertihalnya Rosulullah SAW dan beberapa Rosulullah
yang lain. Ada beberapa hujjah atau dalil yang menguatkan atas pernyataan Syi’ah
terkait kemaksumam Imam dalam Ahlul Bait. Diantaranya surat Al-Ahzab
ayat 33:
Terkait ayat di atas, menurut Syi’ah merupakan
salah satu pemberi Informasi bahwa semua Imam dalam tubuh kelompok Syi’ah
bersifat maksum.[14]
Selain ayat di atas, Kelompok Syi’ah juga
memeiliki beberapa argument untuk menopang dalil kemaksuman para Imam yang
diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Berupa hadis:
يا أيها الناس
إني قد تركت فيكم ما إن أخذتم به لن تضلوا كتاب الله و عترتي. قال و هذا حديث حسن
غريب من هذا الوجه (رواه الترمذي عن جابر بن عبد الله و أحمد بن حنبل عن أبي سعيد
الحذري).
Dari Hadis di
atas, kelompok Syi’ah beranggapan kemaksuman para Imam sama halnya dengan
al-Qur’an yang akan selalu terjaga (maksum).
b.
Adil dan Dabit
1)
Konsep Dan Pengertian Adil Menurut Syi’ah
Dalam kelompok Syi’ah terdapat
perbedaan terkait definisi Adil. Salah satu yang paling masyhur adalah apa yang
dijelaskan oleh al-Subhani tentang ‘Adalah. Dikatannya bahwa Adalah
merupakan karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong untuk senantiasa
berada dalam orbit ketaqwaan dengan meninggalkan dosa besar dan tidak banyak
melakukan dosa kecil, serta menghindari perbuatan yang dapat merusak muruah
(harga dirinya). [15]
Di sisi lain, kelompok Syi’ah juga
mensyaratkan agar seorang periwayat hadis dapat dikatakan sebgai orang yang ‘Adil
dengan melihat sebagaimana yang
dipaparkan oleh al-Hakim al-Naisaburi salah satu ulama Syi’ah (wafat 405
H), diantaranya: a) Muslim,b) Tidak mengajak bid’ah, dan c) Tidak melakukan
maksiat yang dapat merusak ke’Adalahannya. [16]Di samping
itu, kalangan kelompok Syi’ah, syarat perawi hadis dapat mencapai derajat Adil
harus memenuhi kriteria berikut: a) Muslim, b) Baligh, c) berakal, d) tidak
fasiq, e) Memelihara muruah.[17]
2)
Konsep Dan Pengertian Dabit
Menurut Syi’ah
Pengertian dabit yang
diajukan Syi’ah kurang lebih sama dengan pengertian dabit yang diajukan oleh Ahlussunnah.
Dalam hal ini, kelompok Syi’ah menganggap bahwa dabit merupakan sifat
yang kuat hafalannya dan tidak lupa atas hadis yang telah diriwayatkannya.
Sehingga orang yang Dabit akan selalu menjaga hafalan hadisnya, hal ini
jika periwayatan hadisnya berupa hafalan. Dan juga akan selalu menjaga
tulisannya dari segala perubahan jika
dalam hal ini periwayatan hadisnya melalui bentuk tulisan.
Dalam hal Dabit, kelompok Syi’ah juga
mensyaratkan tidak adanya Syaad (kejanggalan ) dan Ilat (cacat)
dalam hadis itu sendiri.[18]
4. Literatur
Hadis menurut pandangan Syi’ah
Jika kelompok Ahlussunnah berpegang pada kutubussittah dalam
masalah literatur hadi-hadisnya (Sohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan Abi Dawud,
Sunan at-Turmudzi, Sunan al-Nasai’, Sunan Ibnu Majah), maka kelompok Syi’ah pun
berpegang teguh pada al-Kutub al-Arba’ah dalam masalah literatur
hadis-hadinsya. Ke empat kitab tersebut adalah:
a.
Usul al-Kafi
Salah satu kitab
sandaran Syi’ah yang pertama adalah Kitab al-Kafi yang ditulis oleh salah satu
ulama mereka bernama Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub ibn Ishaq al-Kulaini
al-Razi. Wafat pada tahun 328/329 H (939/940 M). Dalam hal ini, riwayat
hidupnya sangat sedikit sekali diketahui sehingga terdapat perbedaan pendapat
mengenai dirinya, apakah nama yang dinisbatkan kepadanya adalah al-Kulini atau
al-Kulaini. Namun disepakati bahwa Kulain atau Kulin merujuk pada sebuah dusun
di Iran asal beliau dilahirkan.[19]
Kedudukan
al-Kafi bagi kalangan Syi’ah sama seperti kedudukan kitab Bukhari bagi kalangan
Sunni, yaitu dianggap sebagai kitab hadis paling sahih. Untuk menyelesaikannya,
al-Kulaini memerlukan waktu yang cukup panjang, yaitu dua puluh tahun.[20]
Al-Kafi memang sebuah karya yang amat lengkap dan luas, yang isinya dibagi
menjadi tiga bagian: al-Usul, al-Furu’ dan al-Raudah.
Selain
hadis-hadis Rosulullah saw., terdapat pula dalam al-Kafi ucapan para imam, dan
hal itu diakui sebagai hadis.
b.
Man La
Yahduruhu Al- Faqih
Kitab ini ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn
Ali ibn Babawaih al-Qummil yang digelari dengan al-Saduq. Julukan
tersebut sangat tepat mengingat al-Shoduq sangat kuat hafalannya dalam
meriwayatkan hadis. Sehingga ketika terdapat perkataannya yang diucapkan
kekhalayak umum, seketika mereka merasa percaya atas kesahihan apa yang
disampaikannya.
Kitab Man la Yahduruh al-Faqih berisi ringkasan
semua hadis yang dikumpulkan sendiri oleh al-Saduq. Kitab ini disusun
dengan tujuan sebagai rujukan hukum agama yang berkisar pada masalah hukum
halal dan haram dan al-Ahwal al-Shakhsiyah. Adapun jumlah hadis yang
telah dihitung oleh al-Shaykh Ali Akbar al-Ghifari, berjumlah 5920 hadis
dengan kualitas yang berbeda-beda.
Di sisi lain, buku ini juga diharapkan untuk dapat
menjadi rujukan masyarakat awam Syi’ah dalam praktik kebutuhan hukum Islam, dan
tidak ditujukan khusus bagi para sarjana dan peneliti. Penulis menggunakan
metode dengan tidak membiarkan hadis-hadisnya berbicara sendiri, tetapi menarik
ketentuan-ketentuan dan penjelasan maksud dari hadis. Sesekali nampak dalam
penjelasan, hadis yang relatif singkat namun mendapat porsi penjelasan yang
panjang.[21]
c.
Tahdhib
al-Ahkam
Kitab tersebut
dikarang oleh ulama besar Syi’ah yaitu Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan ibn Ali
al-Tusi yang lahir di Iran pada tahun 385 H. Kedudukannya dikalangan Syi’ah
telah mengindikasikan kejayaan pendidikan dan pengajaran Syi’ah itu sendiri.
Dapat
dikatakan masa kejayaan Syi’ah berawal dari al-Khulaini dengan karyanya
al-Kafi, kemudian dilanjutkan oleh al-shaduq ibn Bawabaih, yang kemudian
diikuti jejaknya oleh al-Tusi dengan dua kitab karya monumentalnya,
sekaligus menjadi kitab kedua terakhir yang menjadi sandaran kelompok Syi’ah
yaitu tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min Akhbar.[22]
d.
Al-Istibsar fi
ma Ukhtulifa min Akhbar
Sebagaimana penjelasan yang telah
dipaparkan sebelumnya, kitab ini merupakan salah satu kitab karangan pemilik
tahdhib al-Ahkam. Isi yang termuat di dalam kitab tersebut merupakan sebuah
ringkasan dari kitab at-Tahdhib serta sebagai upaya menjelaskan beberapa hadis
yang dianggap saling bertentangan satu dengan yang lain. [23]
Selain literatur kitab hadis di atas,Syi’ah juga memiliki
klasifikasi hadis dalam kelompoknya sendiri, kalsifikasi tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Hadis Sahih
Hadis sahih menurut kalangan Syi’ah merupakan hadis yang
bersambung pada Imam yang maksum di semua lini tingkatan.[24]
Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum
dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Sehingga
hadis yang bersumber dari selain Imam Isna Asyariyah bukan termasuk hadis
shohih.[25]
Berdasarkan pada pengertian hadis sahih, ulama Syi’ah
beranggapan bahwa hadis sahih adalah hadis yang bersumber dari Rosulullah dan
Imam yang maksum.
b.
Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang
bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil,
sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian tingkatan para rawi
dalam sanadnya.[26]
c.
Hadis Muwassaq
Hadis muwassaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang
yang bukan Syi’ah, namun ia adalah orang yang tsiqah dan terpercaya
dalam periwayatan. Jadi hadis muwassaq adalah hadis yang
bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang yang
dinyatakan tsiqah oleh para pengikut Syi’ah. .
d.
Hadis
Dha’if
Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if adalah hadis
yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di
dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang yang
tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti
orang yang memalsukan hadis.[27]
Dalam hadis sahih, mereka menilai periwayat selain Ja’fariyah
sebagai orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya
dinyatakan dha’if yang tidak boleh diterima, begitu juga tidak
diterima riwayat dari selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan tsiqah oleh
mereka.
5. Kehujjahan Hadis Menurut Syi’ah
Sebagaimana yang
dijelaskan dalam buku “Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap
Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah” karya Dr. Zeid B. Smeer, dan dinukil dari “Dirasat
fi al-Hadith wa al-Muhaddithin” karya Hasyim Ma’ruf al-Hasani, Kelompok Syi’ah menganggap bahwa hadis dengan
riwayat da’if masih dapat diamalkan sebagaimana semestinya. Argument tersebut
dilihat dari beberapa pandangan berikut:
a.
Riwayat
yang bersifat da’if karna sanadnya, bisa menjadi sahih dari aspek matan hadis.
b.
Maknanya
sejalan dengan al-Qur’an atau hadis yang lain
c.
Riwayat
tersebut terdapat dalam usul arba’miah atau kitab al mu’tabar Syi’ah.
d.
Diamalkan
oleh para ulama sehingga dapat dikatakan sejajar dengan hadis sahih.
Sehingga hadis ahad (Sahih, Hasan, Muwatsaq, Da’if) dalam
pandangan Syi’ah dapat dijadikan hujjah atau sandaran.[28]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang
telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
1.
Syi‟ah
terambil dari kata dalam bahasa Arab :sya’a – syiya’an
berarti
mengikuti atau menemani (Tabi’a atau Ra-faqa). Yang
menurut Jawah Maghniyah (ulama syi’ah) mereka adalah pengikut Ali ibn Abi
Thalib. Dengan memandang bahwa Hadis adalah segala perkataan, perbuatan dan
tagrir yang tidak hanya berasal dari Rosulullah, melainkan juga berasalah dari para Imam yang maksum.
2.
Awal
penulisan hadis di kalangan Syi’ah telah dimulai pada zaman Rosulullah SAW.
Dengan hadis berada pada Ali ibn Abi Thalib sebagai hasil dari dikte Rosulullah
SAW. Kemudian di kodifikasikan oleh para Ulama Syi’ah salah satunya: Abu Rafi’ al-Qibti
al-Syi’i, dan Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini (w. 328 H/939 M) penulis al-Kafi.
3.
Salah
satu syarat diterimanya hadis menurut Syi’ah antara lain: sanad bersambung
kepada Imam yang maksum, Perawinya Adil dan Dabit, Tidak janggal,
dan tidak cacat.
4.
Literatur
hadis yang terkenal dalam Syi’ah antara lain: al-Kafi, Man la Yahduruhu
al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam, dan al-Istibshar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar.
dengan klasifikasi hadis: Sahih, Hasan, Muwatsaq, dan Dha’if.
5.
Kehujjahan
hadis menurut Syi’ah bahwa hadis dhaif masih bisa diamalkan, sebab: Riwayat
yang bersifat da’if karna sanadnya, bisa menjadi sahih dari aspek matan hadis, Maknanya
sejalan dengan al-Qur’an atau hadis yang lain, Riwayat tersebut terdapat dalam Usul
Arba’miah atau kitab al-Mu’tabar Syi’ah, Diamalkan oleh para ulama
sehingga dapat dikatakan sejajar dengan hadis sahih.
B.
KRITIK DAN SARAN
Demikianlah
makalah yang dapat pemateri sampaikan. Kurang lebihnya kritik dan saran
diharapkan demi perbaikan dimasa yang akan datang.
[1]
Muhammad jawad magniyah, Asy-Syi’ah Wa Al-Hakimun, (Beirut : Ahliyah,1962),
Cet,II, Hlm.14.
[2]Wikipedia, dalam: https://ar.wikipedia.org/wiki/الشيعة , diakses pada tanggal 22 April 2018.
[3] Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadits
Perspektif Syi’ah, Jurnal Farabi, Vol. 12. No. 1 Juni 2015, Hlm. 194.
[4] Sayyid Muhammad Ridha Husain, Tadwin
al-Sunnah Al-Sharifah, (Libanon: Dar al-Hadi, 1413 H), dalam Zeid B. Smeer,
Kedibilitas Kritik Nashir Al-Qifari Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah,
(Batu: Arifa Publishing, 2011), Hlm. 8.
[5] Hasan Amin, Dairat al-Ma’rif al-islamiyyah,
juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar al-Ta’aruf 1971),
Hlm 117
[6] Zeid B. Smeer, Kedibilitas Kritik Nashir
Al-Qifari Terhadap Hadis-Hadis Syi’ah Imamiyah, (Batu: Arifa Publishing,
2011), Hlm. 47.
[7] I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man
la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi,
terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an,
Vol. 2. No. 4, 2001, dalam Zeid B.
Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari..., Hlm. 53-54
[8]
Abu Bakar Al-San’ani, Imla wa AL-Mustamli,
(Bairut: Dar al-Fikr, 104 H), Hlm. 5, dalam Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir
al-Qifari..., Hlm. 54.
[9] Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul
al-Kafi, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin
(Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1990), juz1, 3. dalam Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir
al-Qifari..., Hlm. 54.
[10] Mircea Eliade, (Ed), The Encyclopedia of
religion, Vol. 6 (New York:
Macmilian Publishing Company, 1997), hlm. 150-151, Murtada al-Askari, Ma’alim
al-Madrasatain, Juz III, Hlm. 250-251, dalam: Zeid B. Smeer, Kredibilitas
Kritik Nashir al-Qifari..., Hlm. 54.
[11]
Husain ibn Abdul Samad Al-Amili, Wusul
al-Akhyar ila Usul al-Akhbar (Qum: t.tp, 1401 H), Hlm. 103, dalam: Zeid B.
Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari..., Hlm. 38.
[12] Al-Askari, Ma’alim al-Madrasatain, Hlm.
321-322, lihat juga Kashif al-Ghitha’, Asl al-Shi’ah wa Usuluha,,Hlm.
134. Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari..., Hlm. 39.
[13] Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Usul
al-Kafi, (Bairut: Dar al-Ta’aruf li al-Matbu’at, 1411 H/1990M), Hlm. 80,
dalam: Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari..., Hlm. 39.
[14]
Al-Subhani, Buhuth fi al-Milal wa al-NiHlm,
Juz VI, Hlm. 288. Dalam: Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari...,
Hlm. 42
[15]al-Subhani, Usul al-Hadits wa Ahkamuhu,
Hlm. 118, dalam: Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari...,
Hlm. 48
[16]
Al-Hakim abi Abdillah Muhammad ibn
Abdillah Al-Naisaburi, Kitab Ma’rifat ‘Ulum al-Hadith (Heyderabad:
Dairat al-Ma’rifat al-Uthmaniyah, t.th), Hlm. 53. Dalam: Zeid B. Smeer, Kredibilitas
Kritik Nashir al-Qifari..., Hlm. 48.
[17]
Ibn al-Salah, Muqaddimah fi Ulum al-Hadith,
152; al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, Juz I, Hlm, 300; Ahmad Ibn Ali ibn
Thabit, al-Kifayah fi Qawanin al-Riwayah, (Kairo: Dar al-Kutub
al-Hadithah, t.th), Hlm. 246, dalam: : Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik
Nashir al-Qifari..., Hlm. 77.
[18] Sayyid Muhammad Rida Husain, Tadwin
al-Sunnah al-Sharifah, (Libanon: Dar al-Hadi, 1413 H), Hlm. 119.
[19] Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah
Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-Hikmah, No. 6, edisi
Juli-Oktober 1991.
[20] Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali ibn
Ahmad al-Asadi al-Kufi al-Najashi, Rijal al-Najashi (Qum: Muassasah
al-Nashr al-Islami, 1418), hlm. 266.
[21]
Zeid B. Smeer, Kredibilitas
Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah Imamiyah, (Batu: Arifa
Publishing, 2011), hlm. 59-60.
[22]
Zeid B. Smeer, Kredibilitas
Kritik Nashir al-Qifari..., Hlm. 61
[23]
Ibid., Hlm 62.
[24] Ali
Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan
Fiqih, Hlm. 126
[25] Ibid,
Hlm. 127.
[26] Ibid,
129.
[27] Ibid,
Hlm. 130.
[28]
Hasyim Ma’ruf al-Hasani, Dirasat fi
al-Hadith wa al-Muhaddithin..., Hlm. 136-137, dalam : Zeid B. Smeer, Kedibilitas
Kritik Nashir Al-Qifari,,,Hlm. 58.
0 Komentar