Advertisement

Responsive Advertisement

Hukum Shalat Jum'at Bagi Perempuan

Dalam masalah sholat jumat, masih terdapat pertanyaan besar. Apakah hanya dilakukan oleh kaum adam saja seperti halnya syarat-syarat yang ditentukan yaitu berupa pelaksananya adalah laki-laki. Ataukah seorang perempuan masih diperbolehkan melaksanakan sholat jumat atau bahkan hukumnya wajib seperti halnya seorang laki-laki. Dalam masalah sholat jumat pun masih terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah jamaah yang wajib dipenuhi ketika akan melaksanakan sholat jumat. Bahkan masih terdapat beberapa teka-teki dalam masalah sholat jumat yang pada umumnya setiap orang belum mengetahuinya.
Dari latar belakang tersebut, penulis mencoba sedikit membahasa tentang perihal sholat jumat dari beberapa pendapat ulama yang di kutip dari berbagai kitab fiqih.
                        Hari jumat merupakan sebaik-baik hari dalam hitungan satu minggu.
Dalam kitab Shohih Muslim bab keutamaan hari jumat, hadist ke 854, dijelaskan hadist berbunyi: [1]
حدثنا قتيبة بن سعيد: حدثنا المغيرة – يعني الحزامي –  عن ابي الزناد عن الاعراج، عن ابي هريرة، ان النبي صلي الله عليه و سلم قال: خير يوم طلعت عليه الشمس يوم الجمعة: فيه خلق ادم, و فيه اﺬخل الجنة، وفيه اخرج منها. ولاتقوم الساعة الا في يوم الجمعة.
            “diceritakan kepada kami dari Qutaibah Ibn Sa’id: diceritakan kepada kami dari Mughiroh – Al Hizamiy – dari Abi Zanad, dari a’roj dari abi hurairoh, bahwa nabi saw bersabda: “sebaik-baik hari dimana matahari terbit adalah hari jumat: di hari jumat, Nabi Adam diciptakan, dihari jumat pula Nabi Adam ditempatkan di surga, bahkan di hari jumat juga Nabi Adam dikeluarkan dari surga, serta tidak akan terjadi hari kiamat kecuali pada hari jumat.”
                                    Dalam hal hukum pelaksanaanya, semua ulama sepakat bahwa sholat jumat hukumnya adalah Fardlu Ain. Yang mana jumlah bilanganya 2 rokaat. Disebutkan dalam firman Allah surat al Jumu’ah: 9.[2]

”Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
                                    Tentang syarat wajibnya sholat jumat, Syekh Muhammad Ibn Qosim Al Ghoziy dalam kitab Fathul Qorib Al Mujib menjelaskan: syarat wajib sholat jumat ada 7: islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, sehat, menetap. [3]
                                    Hal senada dikemukakan oleh Syekh Zainuddin Ibn Abdul Aziz dalam kitab Fatkhul Mu’in dengan menjelaskan syarat wajib jumat adalah: mukhalaf (baligh, berakal), laki-laki, menetap sehat (tidak ada halangan), dan bermukim atau menetap.[4]
                                    Dalam penjelasan diatas dapat diketahui bahwa sholat jumat hanya di peruntutkan atau diwajibkan bagi laki-laki saja. Sehingga masih terjadi permasalahan seputar bagaimana jika seseorang perempuan melaksanakan sholat jumat. Apakah diperbolehkan?. Dalam hal ini Syekh Sayyid Saabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah berpendapat bahwa seorang perempuan boleh melakukan sholat jumat sebagaimana kaum perempuan pada zaman nabi muhammad juga mendatangi masjid dan melaksanakan sholat jumat. Dan itu tanpa mengulangi sholat duhur, karena barang siapa melaksanakan sholat jumat, maka gugurlah baginya sholat duhur.[5]
                                    Terkait hukum jumatan bagi perempuan, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan:
            Pertama, ulama sepakat bahwa perempuan tidak wajib melaksanakan sholat jumat. Sebagaimana hadist nabi :
 (الجمعة حق واجب علي كل مسلم في جماعة، الا اربعة عبد مملوك امراة او صبي او مريض) اخرجه ابو داود برقم ۱۰۵٤، وصححه الالباني (الارواء برقم )٥٩٢
            “sholat jumat adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki secara berjamaah kecuali 4: budak, perempuan, anak-anak, orang sakit.
            Kedua, perempuan boleh melaksanakan sholat jumat. para ulama sepakat bahwa jika ada seorang perempuan mengahadiri sholat jumat, maka itu sudah sah baginya.
            Ketiga, sholat jumatan sendiri, tidak sah. Para ulama setuju bahwa sholat jumat hanya dilakukan secara berjamaah seperti hadis di atasbaik yang melakukan laki-laki ataupun perempuan.[6]
                                    Hanya sajah terdapat perbedaan dalam jumlah minimal jamaah. Dalam hal ini, Syekh wahbah az zuhaili dalam kitabnya fiqhul islamiy wa adillatuhu, menjelaskan beberapa pendapat dari para imam madhab:
            Madhab Abi Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa sedikitnya jamaah berjumlah tiga orang. Walaupun mereka sedang dalam keadaan musafir atau sakit. Karena paling sedikitnya jumlah jamaah yang benar adalah tiga 0rang.
            Madhab Malikiyyah berpendapat bahwa dalam sholat jumat disyaratkan harus berjumlah 12 laki-laki dalam m elaksanakan sholat dan khutbah. Seperti yang diriwayatkan oleh jabir bahwa nabi muhammad sedang berkhutbah di hari jumat. Kemudian datanglah ‘ir(unta yang membawa barang dagangan) dari syam. Semua orang melihat ke arah onta tersebut, sehingga terlihatlah jumlah jamaah sebanyak 12 laki-laki. Kemudian turunlah ayat al quran surat al jumuah: 11.

Dan dalam hal ini disyaratkan:
Pertama, jumlah jamaah harus berasal dari penduduk asli. Tidak sah jika berasal dari orang yang bermukim untu berdagang.
Kedua, jumlah bilangan jamaah tersebut tetap dari awal khutbah sampai selesai salam dari melaksanakan sholat. Jika salah satu diantara jamaah sholatnya batal. Maka batallah sholat semua jamaah walaupun setelah imam mengucapkan salam ketika sholat. Dalam artian tetapnya jumlah jamaah dalam saholat jumat menjadi syarat menurut pendapat yang mashur.
Madhab Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam sholat jumat disyaratkan jumlah jamaah sebanyak 40 orang laki-laki atau lebih termasuk imam sholat, berasal dari penduduk asli, mukallaf, merdeka, laki-laki, dan menetap. Seperti yang diriwayatkan imam baihaqi dari ibnu mas’ud bahwa nabi melakukan jamaah jumat. Dan jumlah keseluruhan sebanyak 40 laki-laki. Dan nabi tidak melaksanakan sholat dengan jumlah lebih sedikit dari 40. Maka tidaklah boleh melakukan sholat jumat dengan jumlah dibawah 40 orang laki-laki.[7]




[1] Al imam abu al husain muslim ibn al hajjaj, Shohih Muslim, (Libanon: Daar Al Kutub Al ‘ ilmiyah, 2008), Juz 1, Hlm. 348.
[2] Sayyid saabiq, Fiqhu as Sunnah, (al Qohiroh: Daar Al Fath), Hlm. 225.
[3] Syekh Muhammad ibn Qosim, Fatkhul Qorib, (Singapura: Al Haromain, 2005), Hlm. 18.
[4] Syekh zainuddin ibn Abdul Azi, Fatkhul Mu’in, (singapura: Al Haromain), Hlm. 40.
[5] Sayyid saabiq, Fiqhu as Sunnah, (al Qohiroh: Daar Al Fath), Hlm. 227.
[6] وزارة الشعون الاسلامية و الاوقاف و الدعوة و الارشاد، الفقه الميسر في ضوء الكتاب و اسنة، (الرياض: ١٤٣٠ﻫ)، ص. ٩٣.
[7] وهبة الزحيلي، الفقه الاسلامي و ادلته، (دمشق: دار الفكر، ۲۰۰۷)، ص. ۱۲۹۵- ۱۲۹۷.

Posting Komentar

0 Komentar