Restu Budiansyah Rizki,
Dunia di permulaan bulan Januari Tahun 2020, telah
disibukkan oleh adanya virus corona yang mewabah di berbagai negara. Virus yang
digegerkan tersebut untuk pertama kalinya mewabah di Wuhan, China - sebelum
akhirnya mengekspansi ke negara-negara lain.
Hadirnya virus inipun tampaknya mampu memunculkan
fenomena drama menggelikan seperti: melambungnya harga masker, klaim tentara
Tuhan atas muslim Uighur, hingga cacian kepada pemerintah. (kok gitu amaaat
yaaak..hihi).
Bahkan lebih sadis lagi, ketika ulama-ulama sekaliber
al-Azhar dengan stimulus memfatwakan untuk meniadakan sholat jum’at di masjid,
sholat berjamaah di masjid, menambah lafal “As-Shalatu fi Buyuutikum” di dalam
adzan, dll mendapat respon garang, serampangan, ngawur bin asbun alias asal
bunyi tetapi bunyinya tidak berasal (mudeng gaaak?...ya sudah!).
Sungguh terlalu (kalau kata bang haji roma irama).
Ternyata memang benar!
ilustrasi gambar: comicbeat.com
Ya memang benar!
Benar apanya?
Memang benar bahwa dunia memerlukan stok ahli ilmu fiqih yang
banyak agar respon garang tersebut mampu dilebur, dikemas, atau dikremasi atau
apalah itu namanya. Hihi.
Corona ooohh coronaa, hadirmu dalam sebuah negara mampu
menampakkan siapa yang menggunakan iman dan ilmu, dan siapa yang menggunakan
iman tanpa ilmu.
Ada yang menganggap bahwa fatwa tersebut tidak tepat
seraya melontarkan kata bermerek ahli ibadah, seperti: jangan hanya karena
corona masjid menjadi sepi, silaturahim dibatasi, dan kalimat-kalimat lain
apalah itu. (egp saja).
Mari pahami sejenak yukk...kuyy biar tidak tersesat ke
jalan yang benar (masih mending kaaaan? Daripada sudah tersesat eh ke jalan
yang salah pula). (mesem sedikit).
Jadi begini saaaam (bahasa jawa timuran ceritanya).
(panggilan untuk orang alias “maaaas”).
Islam dengan berbagai ajarannya tidak hanya mengandalkan
iman saja. Itu tidak cukup. Tapi perlu menggunakan ilmu.
Kita tidak sedang berniat meninggalkan masjid sebagai
tempat beribadah. Dan kita tidak sedang berniat meninggalkan amaliyah
silaturrahim, dan lain-lain. Akan tetapi, pahaami yaaah>!?!? Kita sedang
mempraktikan iman dan ilmu dalam waktu yang bersamaan atau bahasa
kontemporernya (simultan) terutama dalam masalah kaidah usul fiqih (al-Ushul
al-Fiqhiyyah) yaitu dalam kaidah: “DAR’UL MAFAASID MUQADDAMUN ALA JALBI
AL-MASHAALIH” atau dengan kalimat gampang (mencegah terjadinya kerusakan
(madharat) lebih didahulukan daripada sekedar membuat kebaikan (maslahah)). Dan
kaidah seperti ini sudah sangat mendarah daging dikalangan para kiyai, santri,
dan ulama internasional. Bahkan organisasi keaagaam seperti Nahdhatul Ulama
yang dimotori beberapa kiyai di dalamnya melakukan bahtsul masail terkait
fenomena yang melanda sekarang. Eh anda yang hanya bermodalkan iman langsung
asal bunyi. Kaaan kayak komedi jadinya tingkah anda.
Benar! Kematian itu kuasa Tuhan, namun Tuhan pun
mengajarkan hambanya untuk berusaha kemudian bertawakal. Bukan langsung
bertawakal tanpa ada usaha apapun. Dan usaha menurut kaidah tersebut
sebagaimana yang difatwakan para ulama.
Memang benar kematian pasti datangnya tidak dapat
diprediksi dan kepada siapa akan mampir terlebih dahulu. Namun tidak ada
kesalahan bila usaha menghadapi corona menurut alur kaidah tersebut untuk tetap
menjalankan ibadah di rumah.
Jadi, paham kaaaaan, mengapa ulama-ulama sekaliber
al-Azhar mengeluarkan pernyataan sedemikian rupa dalam menyikapi CO-RO-NA. Mereka
memadukan iman dan ilmu. Tidak serampangan.
Download
0 Komentar